Temen-temen masih ingat peristiwa
jatuhnya lift di BLOK M Square tidak lama ini? Nah itu salah satu dari sekian
banyak kasus yang diakibatkan oleh Bystander Effect.
Sebenarnya Bystander Effect secara
definisi tidak hanya diperuntukan dalam situasi kerja. Bahkan secara empiris
penemuan istilah ini didaptakan dari sebuah pembunuhan seorang wanita bernama Catherine “Kitty” Genovese pada 1964 di
New York. Bystander Effect sendiri dapat diartikan suatu fenomena psikologis yang terjadi saat kehadiran orang lain
membuat seseorang mengurungkan niat untuk membantu orang lain dalam kondisi
yang membutuhkan pertolongan. Dalam keseharian Bahasa Jawa mungkin bisa disebut
sebagai “Njagakno wong liyo” atau bergantung pada orang lain. Masih belum
paham? Yuk kita pahami dulu kronologis lahirnya fenomena psikologis ini.
Bystander effect merupakan istilah
yang menjadi terkenal setelah konsep tersebut dikemukakan oleh psikolog sosial,
Bibb Latané dan Jon Darley beberapa waktu setelah peristiwa pembunuhan Kitty Genovese. Dilansir dari The Guardian, kasus ini muncul ke
permukaan akibat The New York Times melaporkan terdapat kekerasan dan
pembunuhan terhadap Genovese yang dilakukan oleh seorang pria. Genovese yang
berlari ke luar apartemen telah berteriak dan meminta tolong sekuat-kuatnya,
namun mirisnya 38 saksi yang mendengar teriakannya tidak ada yang menolong atau
bahkan tidak ada yang melapor polisi. Seseorang melapor polisi baru setelah
Genovese ditemukan tewas terbubuh. Kejadian ini bisa dibilang saat menyayat dan
super tragis, karena jika dan hanya jika seseorang dari 38 orang membantu pasti
kejadian ini tidak akan terjadi. Baru beberapa saat setelah itu Bibb Latane dan
Jon Darley lewat bukunya memperkenalkan suatu fenomena psikologis yang kita
sebut sebagai Bystander Effect.
Fenomena ini dibuktikan pada salah
satu dari banyak penelitian tentang Bystander Effect. Pada penelitian ini responden
ditempatkan pada suatu ruangan tertutup tanpa diberitahu apa yang akan terjadi
terlebih dahulu.
Eksperimen 1:
Dilakukan pengamatan berapa waktu
yang diperlukan oleh responden memperhatikan kondisi sekitar mereka dan menilai
sebagai “keadaan darurat “. Responden ditempatkan pada suatu ruangan secara
sendiri-sendiri tanpa ada teman/pendamping. Tetiba asap dipompakan ke dalam
ruangan tersebut. Sontak, hanya sekitar 5 detik responden menyadari ada asap
dan langsung bertindak cepat sebagaimana terjadi kondisi darurat.
Selanjutnya, responden yang berbeda
ditempatkan pada suatu ruangan secara berkelompok sekitar 10 orang. Tetiba asap
dipompakan ke dalam ruangan tersebut. Hasilnya responden yang berkelompok
justru membutuhkan waktu 10 detik untuk menyadari adanya asap dan kemudian
bertindak.
Eksperimen 2:
Pada eksperimen kedua ini dilakukan
hal yang sama, yaitu responden ditempatkan pada suatu ruangan dan akan
dipompakan asap ke dalam ruangan tersebut. Bedanya pada eksperimen kedua ini
dilihat persentase responden untuk meninggalkan ruangan dan melaporkan adanya
asap.
Hasilnya, saat seseorang
berada SENDIRIAN di ruangan maka persentase responden meninggalkan ruangan
untuk melaporkan adanya asap adalah 75%. Jika responden berada diruangan DENGAN
1 ORANG LAIN maka persentase responden meninggalkan ruangan untuk melaporkan
adanya asap adalah 38%. Jika resonden berada diruangan DENGAN 2 ORANG LAIN maka
persentase responden meninggalkan ruangan untuk melaporkan adanya asap adalah
10%. Dapat dilihat bahwasannya semakin banyak pendamping pada suatu ruangan
maka semakin rendah tanggung jawab responden untuk melaporkan kondisi bahaya.
Dari hasil kedua eksperimen
tersebut dapat dilihat bahwa seseorang akan lebih sadar jika ada bahaya apabila
sendiri. Hal ini dikarenakan seseorang merasa menjadi satu-satunya
penanggungjawab penuh terhadap suatu bahaya, “karena tidak ada orang lain yang
menyelamatkan maka siapa lagi?”.
Sedangkan orang akan merasa
terhambat rasa takutnya jika berkelompok, dan akan berbuntut pada
menggantungkan orang lain. “Ah tenang, kan masih ada si A dan si B”, “Ah
tenang, pasti sudah ada yang menyelamatkan”. Nah, hal ini disebut sebagai
“Diffusion of Responsibility”, dimana setiap seseorang yang melihat merasa
tidak memiliki tanggung jawab untuk menolong/bertindak karena merasa sudah ada
orang lain yang bertanggungjawab, padahal nyatanya setiap orang yang melihat
merasa demikian.
Menurut Bu Linda Iskandar, dalam
webinar yang pernah saya ikuti. Halangan utama untuk seorang bertindak membantu
orang lain disebabkan karena :
- Berasumsi bahwa akan ada orang lain yang akan bertindak untuk membantu
- Berasumsi bahwa mereka tidak perlu melakukan sesuatu karena bukan tanggung jawabnya
- Berasumsi bahwa ada orang lain yang lebih Kompeten untuk membantu, sehingga mereka melihat bantuannya tidak diperlukan.
- Menduga bahwa bantuannya tidak diinginkan, atau bisa memperburuk situasi sehingga bisa menyebabkan mereka diminta pertanggungjawaban.
Hal di atas juga lah yang
menyebabkan jatuhnya lift di Blok M dan Kitty Genovese terbunuh secara naas tanpa
ada seorang pun yang membantu nya. Lift di BLOK M dimungkinkan masih bisa
ditolong sebelum jatuh apabila setiap orang tidak hanya diam menonton. Maka
dari itu Bystander Effect sendiri sering disebut sebagai efek penonton atau
efek pengamat. Karena seseorang akan menjadi penonton apabila pada sebuah
kelompok juga hanya menonton. Namun bagaiman hasilnya jika efek pengamat ini
terjadi di dunia kerja professional?
Bystander Effect dalam Dunia Kerja
Hal demikian sangat sering
terjadi pada dunia kerja professional, bisa di lapangan maupun di kantor. Mungkin
tidak terlalu dampaknya apabila fenomena ini terjadi di kantor, namun apa
jadinya jika seseorang yang terjebak di confine space dan kita semua terkena
Bystander Effect? Hal demikian kerap ditemukan di lapangan, bahkan tersedianya
HSE atau Ahli K3 di lapangan justru memperkuat terjadinya Bystander Effect ini.
“alah sudah ada orang K3, biar mereka saja yang memperingatkan, kan kerjaan
mereka”. “alah sudah ada orang banyak, pasti aman, toh kalua ada kecelakaan
pasti sudah banyak yang nolong”. Hal demikian sangat-sangat tidak bisa
dibenarkan. Seperti yang kita ketahui K3 adalah kebutuhan semua pekerja, bukan
hanya ahli K3.
Oleh karena itu dewasa ini banyak
koorporat yang berusaha meminimalkan kecendurungan Bystannder effect dengan
memperkuat rasa kekeluargaan antar pekerja. Hubungan yang baik dengan rekan
kerja akan membantu meningkatkan kepedulian seorang karyawan terhadap kesulitan
para rekan kerjanya. Sehingga sikap individualistis yang berujung pada
ketidakpedulian bisa diminimalkan. Komunikasi yang baik dan intens merupakan
kunci utama dalam kepeduliaan antar pekerja. Jika sudah merasa bersama dan
menjadi keluarga, maka dalam kondisi apapun pekerja akan secara sukarela saling
membantu dan mengingatkan.
Lalu bagaimana cara menimbulkan
rasa saling membantu?
Menurut Cladini and Trost, 1998,
yang pertama adalah SIMILARITY. Ya. Kesamaan. Melihat TV sekarang? Berita dipenuhi
dengan berita anti rasialisme dalam pembelaan George Floyd. Kenapa mereka ingin
membantu? Karena mereka merasa SAMA, SIMILAR. Mereka sama-sama merasa sebagai
orang kulit hitam (bagi yang berkulit hitam), mereka sama-sama merasa menjadi
orang yang ditindas, mereka sama-sama merasa orang yang dikucilkan, mereka
sama-sama merasa didzolimi aparat berwajib, mereka sama-sama tidak puas dengan
pemerintahan, mereka sama-sama merasa amerika.
Yang kedua adalah RELIEVE SENSE
OF GUILT. Atau perasaan penyesalan. Beberapa orang yang memiliki kenangan masa
lalu merasakan adanya penyesalan atau rasa bersalah jika tidak memberi
pertolongan kepada orang lain. Saya pernah
melihat video seorang pekerja menangis bersedu-sedu karena merasa menyesal
tidak mengingatkan temannya yang telah meninggal akibat kecelakaan kerja. Pada video
itu temannya selaku ingin melakukan shortcut karena ada masalah pada proses
produksi di conveyor. alhasil tidak berlangsung lama perusahaan tersebut
memperbaiki penuh SMK3 nya dan meraih keuntungan besar karena SMK3 yang baik.
Bagaimana menghilangkan Bystander effect?
Mungkin kita bisa menerapkan
kultur whistleblower. Istilah whistleblower dalam bahasa
Inggris diartikan sebagai “peniup peluit”, disebut demikian karena sebagaimana
halnya wasit dalam pertandingan sepak bola atau olahraga lainnya yang meniupkan
peluit sebagai pengungkapan fakta terjadinya pelanggaran. Pada dunia
kerja, whistleblower ini akan melaporkan apabila ada suatu pelanggaran prosedur
kerja, maupun potensi kecelakaan. Kemudian sang whistleblower tersebut bisa
mendapat reward apabila laporannya terbukti dan membantu perusahaan.